Cerpen ini adalah cerpen tentang cinta dan kasih sayang, bukan cerpen galau atau patah hati lho.. cerpen ini adalah cerita sang merpati yang sedang mencari jatidiri dan cintanya, mencari puing-puing cinta didalam gelapnya hidup, bagaimana kisahnya, yuk kita simak sama-sama.
~Merpati Biru~
“Hmmmmm, lagi, lagi.” Aku mendesah. Ku pungut origami berbentuk burung yang sudah kesekian kalinya bergelayutan di pintu rumahku. Seolah-olah ia mengucapkan selamat pagi dan sudah menjadi penyamangat hari-hariku. Sebuah origami burung biru yang misterius.
Pernah suatu hari aku mencoba cari tau siapa orang yang “sengaja” gantungin benda itu. Aku coba terjaga di ruang tamu dengan sesekali mengintip keluar, namun hingga pagi. Atau menaruh kamera tersembunyi namun hasilnya nihil. Aku tidak keberatan untuk hal ini, toh itu juga tidak mengganggu. Justru aku ingin bertrimakasih.
“Sudah berapa ya?? Seratus? Atau lebih mungkin?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Sembari merapikan rokku yang sudah rapi aku melenggang menuju mobil untuk pergi ke kantor.
“Hallo?” Ku jawab sebuah panggilan dari Nando.
“Udah di mana beb?” Suaranya yang maskulin memenuhi gendang telingaku.
“Ini masih di jalan. Macet nih.”
“Oke. Aku tunggu. Aku gak sabar buat meeting hari ini. Soalnya ini sangat pengaruh buat perusahaan kita.”
“Siap pak bos.” Aku tertawa jail. “tuut..tut,” panggilan ku matikan.
Ya, Nando adalah pacar dan sekaligus bos di kantor aku bekerja. Walau begitu bukan berarti aku bekerja dengan seenaknya. Kita tetap prefesional dalam pekerjaan. Dan itulah yang membuat aku jatuh cinta.
Tiba-tiba lagu Christina perri –a thausand years berkumandang dari handphoneku lagi.
“Hallo?” Sapaku dengan nada seceria mungkin.
“Halo, lagi apa nih? Sudah sarapan kah? Hehe” Suara farich terdengar renyah.
“Lagi nyetir. Gak sempet sarapan di rumah, ada meeting . kemana aja dua minngu kemaren? Gak ada kabar . gak sms. Gak temenin online lagi.” Sambil berkonsentrasi menyetir aku membrondongi laki-laki yang sudah ku anggap kakak ini dengan pertanyaan. Maklum sudah dua minggu dia menghilang.
“Haha. Maaf Vya sayang, aku sedang sibuk” Godanya. “Eh lagi nyetir ya? Ya sudah. Nanti jam makan siang aku telepon lagi.” Tuuuut...panggilan terputus. Aku hanya mendengus kesal, tapi juga lega.
Farich. Aku menyayanginya seperti saudara. Sudah satu tahun kami bersahabat, namun tak pernah sekali aku bertemu dengannya secara langsung karena dia tingal di Kalimantan. Pekerjaan kantor membuatku sulit untuk menemuinya, begitu sebaliknya. Dia selalu menghiburku, memberi nasehat dan perhatian. Kadang juga dia meluncurkan kata-kata yang membuat aku GR.
Mengenalnnya lewat dunia maya adalah suatu keberuntungan. Dan yang aku suka, dia seniman yang romantis. Ku selalu mengagumi lukisan-lukisan yang dia upload di akun facebooknya. Sempat aku merasa jatuh cinta dan berharap sekali bertemu. Tapi segera ku hilangkan rasa itu karena aku sudah punya Nando, masa depanku.
Hariku tanpa celah dengan Nando sejak tiga bulan kami pacaran. Ia berjanji akan mengenalkan aku pada keluarganya. Dan segera melamarku setelah dia pulang dari Singapore.
“Kamu mau makan apa?” Tanyaku setelah meeting yang mendebarkan itu selesai.
“Ehhmm, biasanya aj.” Jawabnya singkat.
“Nasi goreng pake telor?” Tanyaku meyakinkan, walau sebenarnya aku sudah hafal betul.
“Iya Vy” tersenyum manis.
“Oh iya, sudah di siapin barang kamu buat besok? Berapa lama sih di Singapore?
“Sudah semua kok, satu minggu aja.” Lalu mengenggam tanganku penuh kasih. “jangan khawatir.” Lalu tersenyum.
Sepulang kerja, di kamarku. aku memikirkan konsep apa yang akan aku buat untuk pernikahanku kelak. Sambil kumainkan salahsatu origami burung biru yang ku rangkai menyerupai tirai dan ku gantungkan di sisi jendela kamar, fikiranku melayang-layang membayangkan betepa gagahnya Nando dan betapa cantiknya aku.
Menjadi bagian dari Nando adalah suatu kebahagiaan sekaligus cobaan. Banyak teman kantor yang “sirik” dan menganggapku hanya menginginkan harta keluarga Nando. Tapi aku tak mau ambil pusing, ini hidupku dan hanya aku yang tahu.
Saat Nando ada di Singapore hanya Farich dan beberapa teman yang setia mengisi inbox handphoneku. Oh iya, Nando belum tahu tentang Farich, dan sebaiknya aku memberitahunya nanti setelah kepulangannya agar tidak ada kesalahpahaman.
“Oh ya? Selamat ya.” Farich memberi selamat pada telepon rutin yang kami lakukan tiap malam sehabis isya’.
“Kamu janji kan mau datang di pernikahanku nanti?” Aku memohon.
“Iya pasti aku datang kalau kamu menikah.”
“Bener? Serius? Terus kapan kamu menikah?”
“Iya Vy, aku janji.” Farich tak mengindahkan pertanyaanku terakhir.
“Oh ya, request lagu kesukaanku dong, masih bisa maen gitar kan?” pintaku manja.
“Dengan senang hati my sweetheart” lalu ia memulai memetik gitarnya. Dari seberang telepon aku menikmati alunan nadanya hingga di buat melayang dan terlelap dalam mimpi indahku.
******
Sore itu saat aku dalam perjalanan menuju rumah Intan, temanku. Aku mengendarai sepedah motor milik pak Didit, tukang kebunku karena mobilku sedang berada di bengkel. Sialnya aku memaksakan diri untuk mengendarainya karena sudah lama aku tidak bersepedah. Dan kecelakaan itu menimpaku.
Aku terpental sejauh tiga meter dari sepedahmotor setalah menabrak sebuah bemo yang ugal-ugalan. Aku masuk ke semak-semak dan terbentur sebuah pohon hingga aku tak tahu apalagi yang terjadi setelah itu.
Ku buka mataku perlahan. Sayup-sayup ku dengar orang berbicara dengan nada pelan. Ku lihat orang-orang berpakaian putih memandangiku. Dokter, suster dan mama. Ingatanku seketika kembali pada kecelakaan itu.
“Auuw,, sakit ma.” Aku merintih kesakitan di bagian bawah perut saat ku coba duduk dari tidurku.
“Jangan banyak gerak Vy.“ Mama membantu membenahi posisiku.
“Vya kenapa? Kok sakit banget di bawah bagian perut?” Aku memegang perutku yang nyeri.
“Kamu anak yang kuat kan Vy, kamu habis operasi kecil tadi” jemari mama membelai pundakku.
“Maksut mama?” Hatiku mulai panik. Dan ku pandangi bagian tubuh luarku. Tak ada yang kurang.
“Kamu...” Sepersekian detik mama menghela nafas panjang. “Kecelakaan itu merusak selaput darahmu sayang, dan harus di lakukan operasi karena terjadi pendaharan.” Lalu menatapku dalam.
“Artinya...” Mataku mulai tergenang air mata tak kuasa menerima kenyataan. “Vya kehIlangan kevirginan ma?” Suaraku bergetar mengatakannya. Aku memeluk mama dan menagis dalam dekapannya. Ingin aku berteriak memanggil Tuhan agar Ia kembalikan hal paling berharga dalam hidupku.
Keesokan harinya aku di perbolehkan pulang. Di rumah aku hanya mengurung diri, tak nafsu makan dan tak ingin ke kantor.
Aku mengayun-ayunkan origami , bagaimana aku mengtakan kepada Nando? Akankah dia percaya? Tiba-tiba handphoneku berdering. Farich.
“Hallo?” sapanya jail
“Ya?”
“Ih kok gitu? Kenapa? Ada masalah ya?”
“Ng..ngg..” Aku tak bisa menahannya lagi. Tangisku pecah seketika hingga sesengukan aku menahannya.
“Udah nangisnya?”
“Hmmm..”
“Mau cerita?”
Aku cerita panjang lebar tentang kecelakaan kemarin. Sungguh berat aku terima cobaan ini. Sebagai seorang wanita. aku takut Nando kecewa padaku. Apa yang harus aku lakukan. Tuhan seakan tak adil. Aku kecewa pada-Nya.
“Tuhan maha adil Vy, Dia pasti mempunyai rencana terindah di balik itu semua. Kamu harus belajar dari apa yang sudah di takdirkan. Kehilangan tidak akan membuat kamu mati karenanya.”
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Bagaimana dengan Nando?” Isakanku masih tersisa.
“Hubungi dia segera. Kasih tau semuanya.”
“Aku sudah coba. Tapi dia terlalu sibuk buat balas E-mailku.” Ku usap kembali air mata yang tiba-tiba meluncur setiap teringat Nando.
Saat pikiranku kembali tenag karena dukungan dari Farich. Ku beranikan keluar dari kamar yang langsung di sambut oleh mamaku dengan senyuman.
“Selamat sore sayang” katanya ramah.
“Slamat sore ma, masak apa?” Ku coba bersikap biasa dan sepertinya itu memebuat mama senang.
“Kesukaan kamu, nasi kuning.” Tangan cekatan mama mulai bekerja.
“Vya ke teras dulu ya, ternyata sumpek juga di kamar terus, hehe.” Aku tertawa seadanya.
Kakiku melangkah dengan malas menyusuri ruang tamu. Namun ini harus kulakukan. Hidup seperti biasa. Belum sempat aku duduk di kursi teras, pandanganku tertuju pada sebuah benda yang tak asing lagi. Origami burung biru.
“Hay..” Ku sapa dia lalu mengambilnya. Dan ada yang berbeda kali ini. Ku bongkar origami itu ke bentuk kertas semula. Sebuah puisi.
Ini perasaan..
siapa yang tahu Bila Tuhan telah meniupkan rasa ini.
Siapa yang bisa menolak Bila sudah di takdirkan.
Siapa yang mampu melawan bila Tuhan telah berfirman.
Aku yang memiliki perasaan ini.
Begitu kuat inginku untuk menghapus air matamu.
Menopang hatimu yang telah rapuh..
Mencintaimu karena kekurangan yang mampu kau sulap manjadi kelebihan di mataku
Akulah perasaan itu
Menerbangkan salam lewat merpati biru
Dan jawablah salam cintaku bila ku mampu hapus keluh kesahmu
Siapa sebenarnya yang sengaja melakukan ini semua. Bila dia benar-benar suka padaku. Kenapa tak mau terus terang.
“Ah itu tak membantuku untuk berfikir ke depan tentang masalahku. Sebaiknya aku mnghubungi Nando sekarang” kataku pada diri sendiri. Perlahan tanganku mencoba membentuk lagi origami itu ke bentuk burung. Dan aku tak pernah berhasil.
******
Beginikah cinta. Sakitnya lebih baik aku mati karenanya. Air mata tak pernah menyerah untuk membasahi pipiku. Aku marah. Aku kecewa. Apa salahku hingga seperti ini. Impian dan khayalanku tentang pernikahan bersama Nando hancur seketika. Aku terlalu jauh menghayal, dan kini ku sakit di buatnya. Lebih baik aku hencurkan diriku sendiri daripada harus hatiku yang dihancurkan oleh perkataan Nando tadi siang.
“Selama aku tinggal, kamu ngapain aja? Aku tidak percaya tentang kecelakaan itu.”
“Aku bisa buktiin Do. Tolong percaya padaku!” rasanya aku ingin tertawa, berteriak dan menagis. Semuanya jadi satu.
“Sudahlah, mama juga sudah jodohin aku dengan anak temannya. Mungkin ini memang jalannya.” Kata Nando enteng.
PLAAkK!! Tanganku mendarat sukses dipipi kirinya. Hingga panas aku merasakan.
“Apa maksutmu bilang begitu? Mana janjimu!!!” Aku berteriak seperti orang kesetanan.
“Aku tahu kamu Cuma inginkan harta kan, dan siapa yang tahu kalau kemu punya selingkuhan. Dan selingkuhanmu itu gak mau tanggungjawab. Mungkin saja kamu sudah hamil sekarang!” Nando balas membentakku.
“A....aa arghh aku gak mau liat mukamu lagi!!” Dadaku sesak menahan semua amarah. Ingin rasanya aku mengambil sebuah parang dan mencabik-cabiknya hingga ku puas.
Kini aku merasa Tuhan telah memberi tempat paling asing dalam hidupku. Buliarn-buliaran hangat setia menemani kekecewaanku, mengurung diri (lagi). Tak ada yang menyayangiku lagi. Ku puaskan diri bersama kesepian bila itu membuatku tenang. Duniaku hancur. Mungkin aku terlalu berharap atas sesuatu yang belum tentu itu terjadi. Dan lengkap sudah kehancuran yang ku rasa.
“Sampai kapan kamu seperti ini sayang? Sudah dua hari” Mama mulai terisak saat memasuki kamarku.
“Sampai Tuhan mengembalikan kesempurnaanku.” Mataku menerawang ke jendela.
“Tak ada manusia yang sempurna. Jangan berfikir seperti itu. Hidup itu harus kamu pelajari, bukan kamu sesali. Ini saatnya kamu membuka mata nak, lihatlah orang di sekelilingmu jangan hanya duniamu.”
“Vya mau pergi ke taman. Sendirian” aku beranjak dari tempat tidur.
“Baiklah. Tapi kamu makan dulu” Mama memelukku. Dan tersenyum
Siang ini mendung di taman kota. Ku hirup dalam-dalam udara yang seakan berkata selamat datang di dunia nyata. Aku memilih duduk berteduh di sebuah saung bawah pohon pinus yang sangat teduh, berharap ia juga membawa keteduhan dalam hatiku. Ku bawa sebuah origami burung biru dan bebrapa lembar kertas origami yang masih rapih.
Ku tulis keinginanku pada sebuah kertas origami. “Aku Vya yang kuat dan mampu menghadapi kenyataan. Memulai kehidupan baru yang sudah ku rencanakan begitu indah. Ku tak takut akan mengalirnya air mata. Dan akan ku ukir senyum saat ku terjatuh. Menemukan cinta sejati yang mungkin datang tiba-tiba.”
“Dan sekarang aku mau coba bentuk jadi burung, seperti ini.” Gumamku. Ku amati origami burung di tanganku. Tak habis pikir kenapa aku selalu gagal membentuknya. “Ah aku gak bakalan menyerah” Kataku menyemangati diri.
Sudah sepuluh menit aku duduk sembari tanganku masih berusaha membentuk kertas mungil ini. Rasanya aku ingin menangis saja dan harus mencari komunitas origami untuk belajar secara private. Mata dan pikiranku masih berkonsentrasi. Tiba-tiba aku di kagetkan dengan seorang lelaki yang berbicara di sampingku. Membaca puisi tepatnya.
“Ini perasaan.. siapa yang tahu Bila Tuhan telah meniupkan rasa ini. Siapa yang bisa menolak. Bila sudah di takdirkan. Siapa yang mampu melawan bila Tuhan telah berfirman...”
Awalnya tak ku hiraukan dia. Mungkin ia hanyalah numpang duduk di sini. Hingga akhirnya dia merebut kertas origami milikku.
“Apa-apaan kamu? Siapa kamu?” Aku bertanya ketus. Tapi dia diam saja sambil tangannya membentuk origami itu menjadi setengah burung.
“Heey!!! Sebentar, aku tau puisi itu tadi.” Aku turun dari saung dan berdiri di hadapannya.
“Begini saja tidak bisa” Dia menyerahkan origami burung yang berhasil ia buat.
“Oh, jadi kamu yang selama ini menerorku?” Aku berkecak pinggang.
“memberi semangat tepatnya. Oh ya, jangan sebut ini burung!” Balas lelaki itu.
“Lalu?”
“Ini merpati”
“ Yaelah, apa tetap aja burung kan?!. Jadi apa maksutmu?”
“Kamu tidak mengenal suaraku? Kamu tidak ingat wajah ini?” Dia bertanya balik. Sambil menunjukkan mukanya yang menurutku manis.
“Eeeehhh...” Aku mencoba berfikir.
“Ah dasar!” Dia mengeluarkan hanphonenya. Lalu memncet-mencet nomor.
Lagu Christina perri mengalun lembut, pertanda panggilan masuk. Cepat-cepat ku ambil handphone dari tasku. Farich.
“Oh Tuhan kamu,, kamu??” Aku bingung ingin berkata apa.
“Ya. Aku Farich. Senang bertemu denganmu.” Sambil mencoba berdiri di depanku. Ia tersenyum sungguh manis semanis gula, dan aku semutnya.
“Oh.....kakimu?” mataku melotot terkejut melihat kaki kanan Farich yang hanya ada sebatas lutut.
“ Kecelakaan, saat aku menghilang darimu selama dua minggu itu.”
“Kenapa kamu tidak menjelaskan?”
“Buat apa? Mengeluh tidak akan membuat keadaan kembali kan? Jadi aku tau arti kehilangan, tak usah kamu merasa sendiri. Ini tidak akan membuat kita mati.”
“Aku jadi malu pada diriku sendiri. Sudahlah kita duduk lagi.”
Sore yang indah sekali. Ku rasakan kini keadilan Tuhan. Matahari melambai dengan meganya. Pertanda bintang akan menggantikan sinar dan begitu seterusnya. Aku menyayangi Farich dengan segala kekurangannya dan begitu juga ia. Tak ku sangka selama ini dia megamatiku. Namun aku bahagia.
“Vy. Mau gak kamu jadi bagian dari kakiku? Menopang dan menemani setiap langkahku?” matanya menatapku dengan lembut.
“Gak mau!!. Soalnya kamu sudah bohongin aku. Katanya tinggal di Kalimantan.” Kataku manja. Dan membuang muka.
“Iya deh maaf, gimana caranya aku bales salahku?”
“Caranya kamu harus datang ke pernikahanku!!”
“Kamu mau menikah? Sama siapa?” Terlihat nada kecewa dari suaranya.
“Sama kamu lah. Hahaha” Aku memandanginya.
“Iya, kan aku sudah janji.”
Memang tak secepat berbalik badan rasa kecewa di hatiku untuk pulih. Namun setidaknya aku mencoba untuk bangkit. Dengan kesempurnaan yang di beri Tuhan melalui Farich.
“Apa kamu masih berniat masuk komunitas origami hahaha”
TAMAT